Cerpen : Gadis Alter Ego Bernama Rabu







Siapakah aku?

Aku bisa menjadi siapa saja....

Kendali di atas pikiranku....

Aku hanya seseorang yang tidak menarik di gedung - gedung tinggi perkantoran ini. Banyak perempuan - perempuan berpenampilan menarik. Kaki yang jenjang. Busana terbaru, lipstik Dior?, Chanel,  parfum mahal, sepatu kulit eksotis, lanyard branded. Lanyard?, barang termurah dari branded stuff yang dapat di beli dengan gaji UMR Jakarta. Cih!. Konyol.

Pekerjaan ku hanya pegawai biasa dengan UMR standart. Tidak ada keinginan untuk membeli lanyard konyol itu. Yang aku butuhkan hanya peralatan make up lengkap dan sepatu berhak 10 senti. Buat apa?. Karena aku sudah merencanakan sesuatu. Ya sesuatu. 

Keinginan untuk melakukan transformasi perubahan pada penampilanku. Hanya 1 hari saja. Untuk siapa?. 

Di suatu siang, aku melintas di lantai 1 gedung perkantoran ini , dengan kemeja murahan dan celana bahan kucel ini sehari - hari aku pakai ke kantor. Aku bagaikan itik buruk rupa. Ketika melihat seorang pria bertubuh tinggi sekitar 185cm. Berkulit putih, kaki jenjang, tatanan rambut nya pendek, hitam, rapih dan bergelombang. Ia memiliki brewok yang tertata rapih. Wajahnya mengingatkanku akan Brandon Routh , si Clark Kent. Versi lokal. Rambutnya kurang lebih mirip. 

Pernah , ketika itu hari Rabu. Pagi hari aku terjebak dalam satu lift bersama pria itu. Lift tidak sesak pekerja. Di pagi yang dingin itu, aku bisa mencium wangi parfumnya yang menghiptonis perhatianku. Sial.

Kenapa harus ada pria seperti ini? Ia memakai kemeja yang super rapih , celana bahan dan kaku berwarna hitam. Sepatu loafers kulit. Terkadang, ia memakai jaket. Jaket bermodel varsity hitam polos dan jaket parka. Tidak pernah aku melihat ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Matanya selalu memandang lurus depan. Aku tidak tau siapa namanya. Tapi aku bersumpah, aku akan membuat kedua matanya melirik ku. Setidaknya ia tau kalau aku ada. 

Ternyata, pria itu berkantor di lantai yang sama denganku. Terkadang aku berpapasan dengannya di lorong, bahkan nyali ini terlalu pengecut untuk menatap matanya.  

Siapa dia?. Di bagian apa dia bekerja. Selama 3 tahun aku mencari tahu siapa dia?. Tidak membuahkan hasil. Karena aku tidak ingin bertanya kepada siapapun. Dan aku tidak punya banyak teman bicara di kantor ini. 3 tahun tanpa hasil. Aku juga tidak ada keinginan untuk mencoba menyapanya. Tapi, aku mengadu nyaliku untuk memberanikan diri menatap matanya. 

Rencana sudah aku susun. Aku melihat beberapa referensi  potongan rambut yang sesuai wajahku. Make up dan sepatu hak tinggi. Semua sudah kumiliki. Tinggal beraksi saja. Aku harus tau titik dimana saja aku bertemu dengannya. Paling sering di lorong. Terdapat pintu darurat di lorong tersebut. 

Terkadang aku tidak siap dan memilih untuk menyerah saja. Tapi, aku bersumpah. Bahwa suatu hari aku bisa mengendalikannya. Di hari yang basah itu, pagi hari aku sudah berdiri di depan cermin. Dengan rambut baru. Rambutku ikal , panjang di bawah bahu. Dan dengan kekuatan poni  , wajahku jadi lebih menarik. Aku mempelajari bagaimana teknik make up beberapa selebriti dunia. Yang membuatku tertarik untuk mencoba adalah gaya make up smokey eyes yang misterius. Dan lipstik merah berani seperti Taylor Swift. 

Hari Rabu pagi ini aku memakai kemeja lengan panjang biru, rok lipit hitam sampai di bawah dengkul, sepatu pump berhak 10 senti. Make up look smokey eyes hitam , tipis, tidak bold. Lipstik merah gelap. Seperti vampir. Dengan secangkir kopi susu vietnam panas. Konon, kafein akan membuat perangsang psikoaktif. 

Ketika aku berkaca di dalam toilet. Siapa aku?. Aku tidak mengenal siapa diriku. Hari lain, gadis misterius ini tidak akan pernah muncul. Muncul hanya di hari Rabu. Tidak akan menarik jika dia muncul setiap hari. Keluar dari toilet. Aku tidak banyak berharap akan bertemu dengannya. 

Dengan penampilan seperti ini, tidak semua orang mengenalku. Bagaimana dengan dia?. Melirikku saja tidak. Selama 3 tahun ini. Tapi orang - orang di sekitar ku mulai menyadari penampilanku. Beberapa wanita pekerja melirikku. Dan pria. Aku tidak peduli. Bukan mencari pembuktian dari mereka. Bunyi sepatu ini apakah akan menarik perhatiannya?. Entahlah. 

Fokus dengan pekerjaan seperti biasa. Melakukan instruksi pekerjaan seperti biasa. Hanya berbeda penampilan. Aku yang tidak menarik , tiba tiba saja berubah penampilan di hari Rabu ini. Siapa yang peduli?. Jam makan siang. Biasanya aku melihat beberapa wajah - wajah yang familiar. Di hari biasa, aku hanya memakai kemeja murah , kacamata, celana kumel berwarna hitam dan sepatu hak datar. Rambut di kuncir. Aku berkantor di lantai 5. Ketika melewati lift, aku sudah paham bahwa di sana terdapat tangga darurat. Mau apa aku?. 

Beberapa pegawai wanita yang aku lihat, jarang ku lihat memakai sepatu berhak tinggi. Mungkin hanya aku saja. Masuk ke dalam lift semua berjalan seperti biasa. Membosankan. Ketika pintu lift terbuka. Mataku tertuju pada sosok yang aku buru.

Ya aku memburunya. Ia berdiri di depan lobby sambil berbicara dengan ponselnya. 

Ia memakai sweater cashmere, celana chino berwarna khaki. Kaki jenjang yang mempesona. Aku memanggil nya Brandon Routh. Aku menarik nafas panjang dan berjalan ke arahnya. Sambil menyesap kopi panasku. Aku butuh kafein. Tidak lama ia berjalan pergi dari tempat ia berdiri. Diam - diam aku mengikutinya dari belakang. Ia berjalan agak jauh dariku dan langkah kakiku tidak terasa menjadi cepat. Hak sepatu ini berdentam di atas lantai mana saja ia melangkah. Ia terasa mulai dekat. 

Aku harus siap jika ia menoleh ke belakang. Ia terus berjalan. Menuju kafetaria. Banyak orang orang berjalan di antara kami, sehingga posisiku aman. Aku terus berjalan. Tiba tiba saja ia memberhentikan langkahnya. Bersiaplah.

Benar saja ia menoleh ke belakang. Ada beberapa orang yang lalu lalang berjalan di antara kami. Tapi nyali yang terbakar karena kafein ini tidak lantas menciut. Aku terus menatap ke arahnya. Sampai menoleh 360 derajat sempurna. Mata kami bertemu?. 

Ia menyapa orang yang ada di belakangku. 

Oh...

Ternyata teman pria nya berdiri di belakangku. Tapi mata ini tidak lepas memandangnya. Tidak menyerah. Ia dan temannya duduk di meja. Aku duduk di sebrang mejanya. Siapa pria mempesona dalam hidupmu?, bagiku, Brandon Routh. Dan pria ini. Entah siapa namanya. 

Selesai makan siang , ia berpisah dengan temanya dan kembali ke jalur awal. Kembali ke lantai 5 dengan lift. Pintu lift terbuka. Sialnya, hanya aku dan dia di dalam lift. Aku bisa melihat mata nya sedikit melirik sepatuku. Ia menekan tombol lift dan mempersilahkan aku masuk lift duluan. Ia menekan tombol 5. Dengan sengaja aku menekan tombol 10.

Dengan sedikit permainan. Pintu lift terbuka di lantai 10. Tapi aku tidak turun. Ada 2 orang naik ke dalam lift. Aku bisa melihat bayangan wajahnya bingung menatapku. Kemudian kami turun di lantai 5 secara bersama. Ia sepertinya terkejut. Hari ini, setidaknya aku berhasil membuat gestur tubuh dinginnya melirikku. Sudah cukup di hari ini. Besok Kamis , aku akan kembali menjadi itik buruk rupa.

Esoknya, aku kembali menjadi si buruk rupa. Bekerja totalitas terhadap perusahaan. Namun, betapa mengagumkannya, melihat Brandon Routh memakai kacamata bergaya browline. Tertawa lepas dengan rekan kerjanya. Ia menggulung lengan kemejanya, somehow itu membuat aku...

Ah...

Seperti apa suara nya?...

Lupakan saja. Hari ini aku menjadi diri sendiri.

Hari berganti hari. Menunggu Rabu.

Satu hari ia berganti penampilan. Ia memakai jam tangan digital. Berganti gaya rambut. Wangi parfum yang mendidihkan hasratku , ingin rasanya merobek kemeja itu. Berganti sepatu. Entah itu penny loafers kulit mahal dan memperlihatkan kaus kaki hitamnya. Di hari Senin yang basah dan dingin. Aku melihatnya ia berjalan dengan langkah terburu - buru dan memakai coat panjang berwarna hitam.

Selasa, hal yang membuatku meronta. Ia memakai celana jeans hitam, kemeja hitam , kacamata browline hitam dan wangi apa ini?. Wangi yang masih aku pelajari. Mau jadi apa aku besok Rabu?. 

Rabu , hari balas dendam. Aku berdandan lebih cantik dari Rabu kemarin. Aku memakai terusan polkadot lengan panjang berwarna hitam sepanjang lutut. Stoking hitam dan sepatu hak tinggi 10 senti. Menguncir kuda rambutku. Lipstik merah tua kesukaanku. 

Aku berpapasan dengannya di lorong sore itu. Memberanikan diri menatap matanya. Aku masih bisa menahan ini. Pertama kalinya ia menatapku. Kami bertatapan. Tapi aku ingin lebih dari sekedar tatapan mata. Ingin lebih... 

Sore itu tidak terlalu ramai. Nyaris sepi. Aku melihat tangga darurat itu. Lupakan saja. Hari ini cukup. 

Hari demi hari terlewati. Ada dimana hari aku melihat ia dengan beberapa rekan kerja wanitanya. Tapi aku bisa apa?. Itu bukan di hari Rabu. Keberanianku hanya muncul di hari Rabu. Hari itu, aku memakai celana jeans bermodel boyfriend yang longgar berwarna biru muda. Sweater hitam dan sepatu pump tinggiku.

Lagi, aku bertemu dengannya di dekat lift. Ia memakai kemeja berwarna hijau lembut yang ia gulung lengannya. Celana jeans hitam mahal. Sepatu loafers hitam kulit eksotis. Sepi. Lorong ini seakan - akan mengerti kalau aku sedang berjuang mendekati seorang pria. Sudah cukup,  pria dungu!. Apa hatimu mati?. Apa kamu tahu?, 3 tahun ini aku diam - diam mengagumi kamu. Menipu diri sendiri. Menjelma menjadi orang lain di hari Rabu. Bahkan aku merasa menjadi 2 orang yang berbeda.

Aku menghampirinya. Ia berdiri di dekat lift. Ia mendengar suara sepatuku. Ia meneliti penampilanku mulai dari bawah hingga ke atas. Terkejut?. Tentu saja. 

"Hmmm.... mau naik ke atas?", tanyaku penuh percaya diri. Aku ingin mendengar suaranya.

"Nggak sih, nunggu sesuatu aja di sini", jawabnya.

"Ohya?,  kemeja nya bagus", tangan ini dengan lancang menyentuh kemeja itu.

"Menurutku , laki- laki pake kemeja lengan di gulung itu seksi, somehow", ujarku padanya sembari menatap matanya.

"Ohya? seksi?", hmmmm.....tanya nya tersenyum.

"Mungkin, tapi bukan hari ini aja saya liat kamu di sini. Ada hari waktu kamu pakai coat panjang itu, siapa yang tahan?. Tapi hari ini saya mau lebih", tiba - tiba saja jiwa liar ini mengerayangiku. 

"Maksudnya?", tanya nya bingung.

"Maksudnya?, kamu gak tau siapa saya kan?, tanyaku.

"Hmm, menarik, emang siapa kamu?"..

Aku menarik kemejanya dan menyeretnya masuk ke dalam tangga darurat. Tempat yang aku buru untuk melakukan ini. Ia terkejut tapi menikmatinya. 

"Oh - apa yang kamu lakukan?,  silahkan saja, tapi tolong sebut nama kamu siapa dan dimana?"..

"Gak semudah itu, sebut saja saya bernama Rabu. Dan setiap hari Rabu dia akan muncul"..

"Saya Rendi"..

"Hai Rendi, ternyata kamu namanya Rendi, kamu tau Rendi, ada dimana hari aku lihat kaki jenjangmu dengan sepatu penny loafers mahal".. 

Aku berkata namun jari ini menarik rambutnya. Ia tersenyum, tidak menanggap ini adalah sebuah gangguan. Agresif yang tidak ia takutkan. Ia terlihat menikmatinya. 

"Kamu cantik, kenapa saya baru liat kamu, tapi siapa nama kamu?, tolong sebut siapa nama kamu..." 

Aku berbisik di telinganya dan meremas rambutnya. Sedekat ini aku dengannya. Aku bisa mencium wangi parfumnya. 

"Namaku Rabu, cari aku di hari Rabu", bisikku.

 Aku segera berlalu dari ruangan itu dengan cepat. Rasakan saja. Kamu pasti akan menderita dan bertemu denganku hanya di hari Rabu. Aku bisa mendengar suara langkah kakinya mengejar ku. Tapi usaha itu gagal. Lorong itu dengan cepat di penuhi orang - orang yang ingin menaiki lift. Dan ia kehilangan jejakku. Rabu ini aku menang!. 

Rabu depan akan lebih kejam. Lihat saja. Kamis dan Jumat aku melihat ia berdiri di depan lift kembali. Ia mencariku. Namun, aku menutup wajahku dengan masker. Dan berbeda penampilan di hari lain. Selain hari Rabu, aku kembali menjelma menjadi itik buruk rupa. 

Aku ingin lebih... 

Senin dan Selasa. Ia berdiri di depan lift. Aku menertawakannya. 

Tiba di hari Rabu. 

Aku melewati lorong itu. Dan ia tidak ada di situ. Apa ia menyerah?. Aku menertawakan hal ini. Kemudian aku menaiki lift. Ternyata ia ada di dalam lift dengan coat panjang hitam yang mengagumkan.

Aku meneliti penampilannya dari bawah ke atas.

"Rabu yang cantik", ia menyapaku. 

Aku meliriknya tersenyum. 

"Boleh, makan siang bareng?", tanya nya.

"makan siang bareng?, apa kamu bercanda , Rendi ?", tanyaku.

"Ooh, jadi lebih suka tarik ulur ya?, padahal aku udah nunggu hari Rabu", ujarnya.

"3 tahun aku menunggu..."

"3 tahun menunggu siapa?, aku?", tanya nya dengan senyum yang menggoda.

Pintu lift terbuka. Aku segera berjalan keluar lift. Aku merasakan ia menarik tangannku.

"3 tahun menunggu?"

"Iya, bahkan kamu - Brandon Routh, Rendi, ini gak masuk akal kan?. Tapi lihat coat itu, sempurna kan? , maksud ku"....

"Brandon Routh?"... 

Aku mendorong tubuhnya ke dinding tangga darurat. 

"Ayo Rabu, lakukan saja apa yang kamu mau", ia menatapku dengan pasrah. 

"Aku -aku -oooh , enggak ini..." tiba tiba saja sesuatu merasukiku. 

"Ayo, lakukan saja. Hari ini aku milikmu. Karena kita ga ketemu kan besok?", ia menyentuh wajahku dengan telapak tangannya. Hangat. 

Ia terlihat mempesona dengan brewok itu. Dan wangi itu. Sudah cukup menyakitkan menunggu 3 tahun. 1 tahun memikirkan dan menyusun rencana ini. 

"Hmm...wangi dan manis, apa ini?, ohya wanita menyebutnya lipstik atau lipgloss, Rabu, mungkin aku tergila -gila dengan Rabu?", tanya Rendi. Ia menyentuh rambutku dan menatapku di balik kacamata browline nya. Sedangkan aku hanya menatapnya dingin. Aku sudah tidak tahan. Jadi aku mengecup nya dalam - dalam . Sebuah kecupan yang dapat mengusik pikiran seseorang. Hukuman baginya karena bersikap dingin padaku selama 3 tahun ini. 

"Aku mohon, besok kita ketemu dan saling kenal satu sama lain, Rabu...", ia mengenggam tanganku.

Aku segera meninggalkan nya.

"Hei jangan pergi!", pekiknya...

Percuma saja. Ia tidak akan berhasil..

Hari akan semakin kejam. Tubuhmu yang tinggi dan tegap, kini tidak berdaya hanya menghadapi 1 kecupan mematikan. Kecupan itu akan menganggu malam-malammu. Sedangkan aku menertawakannya. Mungkin , kamu - Rendi, akan sujud di kakiku. Memohon aku datang di hari - hari selain Rabu. Tapi , maaf. Ia hanya akan datang di hari Rabu. 

Apa yang terjadi setelah kecupan mematikan itu. 2 hari, aku tidak melihat ia berdiri di depan pintu lift itu. Tapi, sebagai itik buruk rupa di hari lain. Kamis, aku menyisir keadaan. Ia tidak ada di lorong. Kafetaria. Lobby lantai bawah. Aku kembali ke lantai 5 dan mencari nama - nama perusahaan yang tertera di papan nama dekat lift. Ada 5 nama perusahaan. Tapi yang mana?. Ini menarik. Aku ingin mencari tahu. Tapi tidak menemukan jawaban. Jumat ini. Aku tidak menemukannya. Baiklah. 

Senin.

Masih menjadi itik buruk rupa. Pagi ini aku datang kepagian. Masih ada waktu lebih untuk menyisir situasi. Sisi jalan yang belum ramai. Ada lobby di ruangan. Ada air mancur, tempat para pegawai kantoran duduk - duduk. Aku menemukannya. Ia duduk mengobrol dengan rekan kerjanya. Tapi lihat apa yang ia pakai. 

Ia memakai kemeja jeans biru dengan kerah yang ia naikkan. Celana chino warna khaki, deck loafers hitam kulit mahal. Jam tangan rantai. Ia menyilangkan kaki nya, sehingga kaus kaki hitam nya terlihat. Lihat dia, sama sekali tidak melirikku dengan busana buruk ini. Kejamnya kamu Rendi.

Selasa. 

Sama. Ia tidak menolehku ke arahku waktu bertemu di lorong. Hari yang tidak aku kira. Aku berkerja di lantai 5 di Perusahaan investasi. 1 lantai ini terdiri dari 2 perusahaan. Ada ruangan baru di belakang blok ini. Katanya itu perusahaan media online. Baru saja di buka dan rumornya, akan ada pindahan dari kantor sebrang. Apapun itu aku tidak peduli. 

Aku kembali bekerja di depan layar komputer. Memasukan beberapa data dan mencocokkannya. Di hari biasa aku tidak memakai make up. Aku tidak banyak bicara kepada rekan kerjaku. Sehingga mereka tidak cukup mengenalku. Bahkan tidak menyadari keberadaanku. Sebuah keuntungan bagiku. Di siang hari yang di penuhi target pekerjaan. Terlihat beberapa orang lalu lalang. Mungkin mereka itu pekerja yang pindahan. Aku fokus kepada pekerjaan ku. 

Ah... 

Apa ini.... 

Aku seperti mencium wangi parfum yang aku kenal. Di hari biasa, aku memakai kacamata berframe tebal yang memuakkan. Tapi sempurna untuk penyamaran. Wangi ini beraroma dingin, membuat nyaman, lembut, maskulin...

"Rendi..."!, teriak salah satu pegawai di ruangan ini.

Rendi????. Oh tidak...!!

Ia menghampiri meja sebelahku. Yang aku tidak tau siapa. 

"Ngapain ke sini?", tanya suara pria di meja sebelahku. 

"Pindahan, gw pindahan ke ruangan yang baru, tu di belakang", ujarnya.

Tenang saja. Dia gak akan tau siapa aku yang duduk di sini. 

Wangi nya masih mengerayang di sekitarku. Wanita di sebelahku bangkit dan melihat ke arah suara Rendi. 

Bagaimana aku menjadi Rabu esok hari. Dia akan tau aku di sini. 

"Rasanya gak sabar hari Rabu", ujarnya lagi.

"Kenapa?, makin ganteng aja, jangan ganteng - ganteng lah, bagi-bagi ke gw", ujar pria di sebelahku. 

"Rabu berkesan karena , cuma di hari itu aja kesempatannya"...

"Lu ngomong apa sih?, haha....

Tidak lama ia pergi. Dengan langkah yang tidak bersuara. 

Bagaimana ini, besok?.. 

"Pssst,Rio....", wanita sebelahku memanggil pria yang duduk di sebelahku.

"Oi..., nape?"

"Yang tadi siapa?"

"Rendi?"

"Oooh... Rendi namanya"

Mereka mengobrol tanpa menyadari keberadaanku. 

"Ganteeeeng gila..."

"Haha... anak media tuh"

"Media apa?"

"Jurnalis"

Tak lama wanita itu menghampiri meja Rio. Rio?, bahkan selama 3 tahun ini, aku baru tau namanya. 

"Kenalin dong...", ujar nya genit.

"Ikut aja tar makan siang bareng"

Wanita sebelah ku, berpenampilan provokatif. Ia terlihat lebih berani. Memakai rok span, sepatu berhak tapi tidak setinggi ku pakai. Ia tidak cantik. Tapi menarik. Berani sekali dia. 

Siang datang. Jam makan siang di hari Selasa. Aku selalu makan siang sendirian. Tidak perlu teman dalam menghabiskan waktu. 

Pria sebelahku menunggu Rendi datang. Wanita sebelahku yang bernama, Hanna. Aku masih duduk. Pura - pura duduk.

"Rendi, maksi dimana?"

"Hmm.. dimana aja, bebas.."

"Ohya ini temen gw , Hanna, mau ikutan maksi juga, boleh?"

"Oh, halo , gw Rendi", ia menjabat tangan wanita itu dengan sedikit senyuman.

Ketika di hari Rabu itu, dimana ia memandang mataku dengan teduh, menyentuh wajahku dengan telapak tangannya yang hangat. Diam - diam aku mengikuti mereka makan siang. Mencari tahu, bagaimana sikap nya dengan wanita lain. Di cafetaria , banyak orang - orang lalu lalang. Aku duduk jauh darinya. Tapi masih bisa melihatnya dari jauh.

Ia menikmati makan nya tapi tidak menikmati obrolan dengan teman pria dn wanita nya. Ia hanya duduk dan menatap mug kopinya. Sedikit tersenyum. Mungkin ia gelisah. Sabar sayang. Masih ada sekitar 20 jam lagi. 

Rabu...

Aku berpikir di depan cermin. Bagaimana ini?. Jika aku menjadi Rabu. Ia akan tau keberadaanku. Aku melihat jaket parka hijau yang tergantung di belakang pintu. Mengambil jaket itu dan melipat kemeja putih dan celana bahan hitam murahan dan memasukan nya ke dalam tas. Hari ini aku menjadi 2 orang yang lain. Rabu dan Jani. Ya namaku Anjani. 

Hari ini aku memakai terusan hitam bermotif floral panjang , jaket parka hijau, tatanan make up mata smokey eyes tipis dan samar. Pagi ini aku datang lebih pagi. Ingin menikmati kopi expresso pahit ini di taman lantai paling atas gedung ini. Memikirkan rencana selanjutnya. Aku meminum kopi pahit ini dan menikmati angin pagi ini. Bagaimana ini. Aku takut identitasku akan ia ketahui. Jika ia tahu, permainan ini berakhir. Tidak seksi lagi dan panas. Permainan yang aku nikmati.

Bersandiwara sajalah.

Aku turun menuju ruangan kerjaku. Aku tidak ingin menyerah dengan keadaan. Tidak sengaja aku melihat Rendi berjalan menuju lift. Tapi aku malah takut. Bagaimana ini?. Aku memilih untuk menghindarinya. Aku menaiki lift setelahnya. Untunglah. Aku tidak bertemu dengannya. Pintu lift terbuka. Kemudian aku berjalan menuju ruanganku.

Langkahku terhenti. Aku melihat Rendi sedang mengobrol dengan pria meja sebelahku. Segera saja aku berlari ke arah pintu darurat. Bagaimana ini???...

5, 10 menit aku menunggu. Baiklah, aku keluar. Syukurlah dia sudah tidak di sana lagi. Cepat -cepat aku duduk dan memakai kacamata penyamaran. Terserah saja dimana aku akan bertemu dia. Pekerjaanku masih banyak. Banyak data.- data yang harus di input. Aku tenggelam dalam pekerjaanku. Aku melepaskan kacamata ini, karena mataku sakit. Dan ingin sekali aku mencuci mataku yang tidak nyaman. 

Aku berjalan ke kamar mandi. Di ujung jalan aku tidak sengaja bertemu Rendi. Bukan di lorong. Di luar ruangan kerjaku. Kemudian aku kembali memutar kembali ke meja kerjaku.

Dan duduk di meja kerja dan cepat - cepat memakai kacamata penyamaran. Ooh... lelahnya pekerjaan hari ini. Hari ini aku ingin cepat pulang saja. Aku membereskan dokumen - dokumenku dan segera berdiri beranjak bangkit dari kursiku. Aku merasa tidak enak badan. 

"Rio", seru suara dari arah belakangku. Spontan aku menoleh ke arah suara itu. Oh tidak, itu Rendi!. Ia melihat ke arahku dengan terkejut dan segera berlari. Ya, berlari ke arahku. 

Oooh tidak!... 

Sesegera mungkin aku mempercepat langkahku. Dan setengah berlari , di depan ku banyak pegawai kantoran di gedung ini yang berjalan di depanku. Rasanya percuma saja. Pasti aku akan ketangkep basah. Dengan cepat aku masuk ke dalam lift. Begitu aku masuk ke dalam lift. Pintu lift terbuka dan Rendi masuk ke dalam lift. Berharap ia tidak melihatku. 

Aaaah... 

Dia bertubuh tinggi, ia pasti melihatku. Pria di sebelahku juga tinggi. Aku bisa mencium wangi parfumnya. Fantastis. Pintu lift terbuka. Ia keluar dari lift. Tapi aku tidak ikut keluar dari lift. Lift sudah kosong. 

Namun....

Aku melihat kaki jenjang itu masuk ke dalam lift. Celana itu berwarna biru velvet, sepatu boots semata kaki bergaya oxford berwarna hitam, aku melihat tangan yang menahan pintu lift agar tidak tertutup. 

Mampuslah aku. 

Ia menekan tombol lift ke arah lantai 10 dan menegurku.

"Kenapa menghindar?", tanya Rendi padaku. 

"Oh ya?, aku tidak mengindar", jawabku. 

"Hmmm gitu", ia berdehem. Ia mau membawaku kemana?. Lift sampai di lantai 10. Ia menarik tanganku dan tidak berkata apa-apa. Tunggu. Kenapa dia yang menguasai permainan. 

"Eh, mau kemana?", tanyaku.

"Ikut aja", ajaknya.

Ada apa di lantai 10?. Kami berjalan menuju sisi lain gedung perkantoran ini yang belum pernah aku tahu. Kami keluar gedung ini dan aku terkejut ada sebuah kedai kopi di atas lantai 10. Ia membawaku ke kedai kopi dan aku bisa melihat matahari yang sudah mulai terbenam dari lantai 10. Cantik sekali. 

Aku duduk memandangi matahari yang mulai terbenam. Sementara Rendi, duduk dan melakukan hal yang sama. 

"Jadi, Rabu itu ternyata ada di satu gedung dan ruangan dengan ku", ia memulai pembicaraan. 

"Kenapa kamu melakukan hal itu padaku?"

"Harus di jawab?", tanyaku kembali.

"Harus", tiba - tiba saja nada suara nya agak tinggi. 

Apa ini ?..

"Karena aku terobsesi...", jawabku. 

"Terobsesi ?"..

Kamu gak akan tahan mendengarkan pengakuan ku. Tapi baiklah. Kalau itu yang ia mau. 

"3 tahun lalu, aku melihat seorang pria berjalan di lobby. Ia berkaki jenjang, ia memakai celana hitam , sepatu boots semata kaki beraksen oxford. Waktu itu musim hujan. Dia menggenakan mantel hitam panjang, aku hanya bisa melihat, tidak bisa apa - apa", kataku. 

"Hemmm.... menarik..."

"Aku gak bisa apa-apa, hanya bisa melihat dia. Selama 3 tahun, tapi aku bersumpah ingin menguasainya",ujarku sambil menatap tajam matanya.

"3 tahun?, selama itu kamu memperhatikan ku?", tanya Rendi lagi.

"Iyah, dan sangat tersiksa".

Ia memakai dasi merah bergaris - garis. Dan menarik dasinya karena ia ingin membuka dasi itu. 

"Menguasai?, gimana cara kamu menguasaiku?", ia melempar pertanyaan seperti ingin melucuti nyaliku. 

"Nantang ya?", tanya ku. Aku bangkit dari bangku dan melihat ia tersenyum. Senyum yang melecehkan. Tunggu. Tahan. 

Ia membuka dasi nya. Dan meletakan dasi itu di atas meja seraya mengebrak meja. Ia mencoba mengertakku ya?..

"Ayo, tunjukkan cara seorang wanita menguasai pria, aku tertarik ingin tahu", goda nya. Aku sudah bangkit dari dudukku. Tapi tidak tahu apa yang akan aku lakukan. 

"ini hari kita bersama. Besok mungkin aku gak akan nyariin kamu..."

"Atau mungkin melupakanmu...."

Aku memejamkan mataku. Atau mungkin ia akan melupakanku. Permainan usai.

"Tolong jangan mendesakku , kalau kamu mau melupakanku silahkan saja, kalau berani"...

Ia tertawa. Tertawa yang seksi...

"Oke, aku pergi dan melupakan saja kalau kita pernah ketemu", ujarnya beranjak dari duduknya.

"Apa ?"...

" iya, lebih baik aku melupakan kamu dan kejadian di pintu darurat itu"..

Ia berdiri dan bangkit dari duduk nya dan segera pergi. 

Apa - apaaan??. Setelah apa yang aku lakukan selama ini?. Aku mempertaruhkan harga diri, identitasku, menunggu 3 tahun itu bukan hal yang mudah...!!! 


Brengsek kamu Rendi....!!


"Oh begitu, jadi seperti nya aku salah orang. Pria ganteng itu memang brengsek, termasuk kamu Rendi. Brengsek", ujarku penuh amarah. 


"Apa?!"

Ia memberhentikan langkahnya dan berjalan menuju arahku. Dan mendekatiku.

"Apa kamu bilang?, aku brengsek?", ia berjalan ke arahku. 

"Iya brengsek, pecundang, pengecut", aku mengatakan hal itù dengan kebencian.

"Ya memang aku brengsek, si brengsek ini tidak bisa tidur selama berminggu - minggu, memikirkan sebuah kecupan dari seorang wanita bernama Anjani. Namanya bukan Rabu. Ia biasa di panggil Jani...."

"Si pecundang ini yang menunggu Rabu datang kembali. Dan berharap ia bertemu Jani.."

"Anjani , aku tau kamu adalah pegawai yang memakai kacamata tebal dan pura - pura terlihat buruk, kamu duduk di sebelah Rio, temanku, apa betul?", tanya nya. Ia menarik tanganku.

"Jawab?", bentaknya. 

Aku kehabisan kata - kata dan dia tau soal ku ??. 

"Ayo jawab?!", bentaknya.

"Lepaskan tanganku"!..

"Tidak, nanti kamu akan kabur dan aku akan kehilangan Anjani..."

Aku mendorong tubuhnya. Tiba - tiba saja aku meneteskan air mataku dan segera pergi dari situ. 

"Anjani, tolong, jangan buat aku menderita lagi", Rendi menarik tanganku dan memelukku erat. Aku menangis di dada nya. Mungkin ia biasa menyemprotkan parfum nya di bagian ini. 

Fantastis. Ia memang fantastis. Wajahnya, tubuh nya yang tinggi, kaki nya yang jenjang. Kacamata itu. Mantel hitam panjang, sepatu nya yang eksotis. Dia harus menjadi milikku. Aku mau dia. 

"Rendi, nama kamu Rendi, ooh iya betul. Si brengsek yang tampan", ujarku seraya menarik kemeja nya dan mencium bibir nya. Sekali lagi dengan brutal. Tidak tahu malu, aku merintih karena hasrat yang tidak terbendung ini. Ia membalas ciumanku dengan tenang dan elegan. Aku bisa merasakan nafas nya yang teratur. Tidak menggebu - gebu. Telapak tangannya yang lembut menyentuh pipiku. Sedangkan aku menarik kasar rambutnya. 

"Tenanglah , kamu tidak perlu terburu - buru memilikiku karena memang aku milikmu mulai hari Rabu ini, Kamis, Jumat , Sabtu dan Minggu"...

"Oooh -  aku tergila - tergila pada mu Rendi", ujarku lagi sembari meneteskan air mata bahagia. 

"Aku juga Anjani", ia memelukku lagi lebih erat. 

Aku melihat matahari mulai tenggelam dari balik punggung nya. Indah dan sendu. Selama ini aku tidak pernah melihat matahari tenggelam. Di atas gedung lantai 10 ini. Aku, Anjani mulai hari ini menghentikan permainan fantasi yang aku buat sendiri. 

3 tahun lama nya aku memendam kekagumanku.... 

Dan bukan berarti aku tidak berjuang mendapatkannya...

Aku harus menjadi dua orang yang berbeda dan melakukan perubahan. Bukan saja 2 penampilan yang berbeda, namun, kepribadian. Tangisanku berakhir bahagia. Ia milikku sekarang. Mulai hari Senin sampai Minggu. Namun, Rabu menjadi hari yang spesial bagiku dan dia...





Komentar